KenapaOrang Cirebon Ditakuti. Aku menengok kebelakang, kenapa bapak berhenti. Berisik Berjuang Beruntung Blakblakan Bounty Hunter Cerewet Ceria Ceroboh Cewek
Bahkanotak kita mampu dengan cepat mengukur seseorang apakah ia bisa masuk ke grup "kece" atau "cupu". Karena itulah penelitian ini dilakukan, mengingat pada umumnya ada perbedaan sikap ke orang berkulit cerah dengan yang gelap. Peneliti menemukan bahwa menilai orang lain adalah salah satu fungsi otak kita yang seringkali disebut dengan prasangka.
AA. 5 Kata yang Sering Diucapkan Orang Cirebon (Unsplash.com) Sebagai orang Cirebon asli yang pernah merantau ke Jawa bagian tengah mentok Jogja, tentu ada sedikit bekal bahasa Jawa halus yang bisa saya praktikkan. Di Cirebon juga terdapat bahasa bebasan dan krama inggil, lho. Saya sering merasa aneh ketika menyebutkan bahasa Jawa yang biasa
PerangBesar Cirebon merupakan sebuah peristiwa perjuangan seluruh elemen masyarakat Cirebon termasuk didalamnya para ulama, santri, petani, buruh dan abdi keraton yang berkesinambungan untuk berjuang melawan penjajah.. Kesultanan Cirebon resmi dibagi menjadi kesultanan Kanoman dan kesultanan Kasepuhan pada tahun 1679, dikatakan pada masa tersebut Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa
Setelahmenata hati dan pikiran. Aku lalu meminta orang-orang yang berada didalam rumah untuk segera keluar. Diantarnya juga terdapat mas Marno, penjaga kontrakan ini. Setelah mereka semua pergi, untuk menjaga situasi, aku lalu menutup pintu. Dan duduk diantara istriku dan laki-laki bajingan ini. "Ayah.," terdengar rintihan istriku memelas.
Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd. › Sejumlah pemuda di Cirebon, Jawa Barat, mendapat pemahaman baru tentang bangsa yang diisi keberagaman. Kini, berbeda justru menjadi kekuatan untuk bersama menuju Indonesia lebih baik. Nafas toleransi dihembuskan oleh sejumlah pemuda di Cirebon, Jawa Barat. Mereka menyebarkan pemahaman tentang keberagaman yang justru menjadi kekuatan untuk bersama menuju Indonesia lebih baik. KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI Rudi Ahmad 36 menjadi fasilitator dalam Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021.Rudi Ahmad 36 berapi-api menyuarakan darurat terorisme di hadapan 20 anak muda di Pendopo Pancaniti, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021. “Sumbu radikalisme yang sudah menyebar ke desa-desa harus dipadamkan, sebelum meledak dan menelan korban,” kata dia. Siang itu, di Desa Sitiwinangun, Jamblang, Rudi yang bersarung, kemeja, dan kopiah, menjadi fasilitator Program Moderasi Beragama. Kegiatan itu digelar Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB Kabupaten Cirebon dan Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan yang berlangsung sekitar tiga bulan itu dilaksanakan di depan masjid, gereja, dan wihara di Jamblang. Tujuannya, memupuk toleransi serta mencegah penyebaran radikalisme, paham yang menghendaki perubahan atau perombakan besar-besaran, mendasar, bahkan dengan kekerasan. Paham ini bisa mewujud memaparkan, selama 2015-pertengahan 2021, terdapat 30 pelaku terorisme berasal dari Cirebon. Sejumlah 17 orang di antaranya dari Jamblang. Ada yang ditangkap terkait bom Thamrin dan rencana bom bunuh diri di Istana Negara, Jakarta pada 2016, serta terlibat penusukan mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pada data tersebut, peserta terkesiap. Mata mereka melotot seakan tak percaya. Ada juga yang mengangguk, seolah paham pelaku teror tinggal di sekitarnya. Namun, beberapa lainnya mendesak fasilitator agar menyebutkan alamat pelaku. Rudi menolak permintaan lalu memaparkan sejumlah indikasi intoleransi yang bisa berujung radikalisme, bahkan terorisme. Misalnya, temuan buku ajar pendidikan anak usia dini di Cirebon yang mengandung diksi granat, gegana, hingga khurafat harus lainnya adalah menutup diri dengan lingkungan dan kerap mengafirkan pemerintah serta orang lain, termasuk yang satu keyakinan. Pada tingkatan tertentu, mereka menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak. Jihad dipahami membunuh orang lain yang tak sepaham.“Kalau dulu radikalis ekstremis bawa pedang. Sekarang, bawa tudingan kafir,” ucapnya sambil menaikkan jari tahun lalu, pandangan serupa nyaris merasuki pikiran Rudi. Tumbuh di lingkungan pesantren yang cukup konservatif, anak kesepuluh dari 11 bersaudara ini acap kali melabeli kafir sejumlah ritual, seperti ziarah kubur. Ia juga hampir ikut “perang” dalam kerusuhan Poso, Sulawesi Tengah, awal juga Ujian Berat untuk Toleransi di ”Kota Wali” CirebonKOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI Rudi Ahmad 36 mengajak pemuda menyuarakan toleransi hingga mendeteksi potensi radikalisme dan terorisme, saat ia menjadi fasilitator dalam Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021.Pada 2012, ia bersama rekannya di sebuah organisasi yang mengampanyekan formalisasi syariat Islam berencana menyerang Ahmadiyah di Kabupaten Indramayu, Jabar. “Hampir orang yang akan datang. Kami mau hancurkan tempat ibadahnya. Tapi, enggak jadi,” ujar Rudi yang sempat menuding Ahmadiyah sesat dan harus dikembalikan ke jalan yang bahkan nyaris berada di barisan pelaku terorisme. Salah satu temannya, Muhammad Syarif, adalah pelaku bom bunuh diri di Masjid Adz-Zikro, Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota, 11 tahun silam. Syarif merupakan marbut sebuah masjid, sedangkan Rudi kala itu menjadi kerap ikut pengajian bersama di berbagai daerah. Mereka juga acap kali menggerebek tempat penjualan miras dengan dalih mencegah tetapi, Kamis malam, 14 April 2011, di Jalan Perjuangan, Kota Cirebon, menjadi pertemuan akhir Rudi dengan kawannya itu. “Kang, kalau istri saya cari, bilang aja ngobrol sama sampean,” ucap Rudi menirukan pesan Syarif, malam harinya, 15 April pukul peristiwa tak terduga terjadi. Syarif meledakkan diri saat Shalat Jumat di masjid Polres Cirebon Kota. Sebanyak 29 jemaah terluka, terhunjam serpihan logam, baut, dan paku.“Saya kaget. Selama ini, dia sopan. Bahasanya saja babasan halus. Istrinya juga waktu itu lagi hamil,” ucap Rudi tak percaya temannya jadi pelaku Syarif mengakhiri hidupnya atas nama “jihad” dengan melukai orang lain. Peristiwa ini menancap di batin Rudi. Pada saat yang sama, pergumulannya dengan Fahmina Institute mulai mengubah Rudi sudah mengenal Fahmina sejak kuliah di Institute Studi Islam Fahmina 2009. Namun, baru sekitar 2013, ia kian aktif menimba ilmu di sana. Ia merasa menemukan dirinya yang seutuhnya. Apalagi, sebelumnya, ia sempat drop out dari sebuah kampus itu, ia nyaris putus asa karena lamarannya kepada seorang perempuan ditolak. Ia juga pernah merantau keluar Cirebon, bekerja di sebuah pabrik. Namun, di Fahmina, ia berhasil menamatkan kuliah dan menemukan pandangan FIKRI ASHRI Sejumlah pemuda mengikuti Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021.Misalnya, hak memeluk keyakinan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, hingga toleransi. “Toleransi ini enggak ada batasnya. Kita sendiri yang membatasi,” kata Rudi yang mengenakan kaos bertuliskan “Kebencian membuat hidup menjadi gelap, cinta membuatnya bercahaya”.Akan tetapi, persinggungan Rudi dengan aktivis Fahmina tidak melulu berjalan mulus. Batinnya sempat bergejolak ketika Fahmina dipandang sesat oleh sejumlah kelompok Islam di Cirebon. KH Husein Muhammad, salah satu pendiri Fahmina, misalnya, pernah mendapat cap liberal, terutama pemikirannya soal kesetaraan ingin berpolemik, Rudi sempat merahasiakan aktivitasnya di Fahmina dari keluarganya. Ketika orangtuanya bertanya tempat kuliahnya, Rudi enggan menyebutkan Fahmina. Ia juga memilih di belakang layar saat menjadi salah satu deklarator Pemuda Lintas Iman atau Pelita, yang latar belakang keyakinannya ini enggak ada batasnya. Kita sendiri yang membatasi. Rudi AhmadHingga suatu hari, mendiang bapaknya mendengar kabar tentang kesibukannya. Ternyata bapaknya tidak marah dan hanya berpesan agar Rudi tidak macam-macam. Entah apa maksudnya. Namun, staf Fahmina Institute ini memastikan bahwa apa yang ia lakukan justru memperkuat akidahnya, bukan memperlemah. Toh, ia tetap mengaji, shalat, dan menjalankan ibadah juga Sekolah Moderasi Beragama, Jalan Menjadi Indonesia yang BinekaSuara di kertasKOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI Sejumlah pemuda berdiskusi dalam Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021. Kegiatan itu digelar oleh Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB Kabupaten Cirebon bersama Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Selain di Jamblang, kegiatan serupa juga digelar di Kecamatan Arjawinangun, Weru, Losari, dan juga turut membarui pemikiran Komala Dewi 37 tentang Islam. Dia merasakan sesuatu yang belum pernah didapatkan kuliah di Cirebon, 2006, Dewi langsung didekati kelompok dakwah kampus. Mereka membantunya mencari indekos yang murah hingga aktif di unit kegiatan ekonomi saat yang sama, ia diwajibkan mengikuti mentoring oleh murabbi guru sepekan sekali. Di sana, Dewi belajar tentang bagaimana membatasi diri dengan umat selain Islam, hingga diskriminasi peran perempuan.“Kalau rapat, perempuan enggak boleh bersuara. Suaranya cukup pakai kertas,” kata alumnus pondok pesantren asal Bandung, Jabar ini. Ia sama sekali tak keberatan saat itu. Dewi kadung merasa punya utang jasa dengan teman dan seniornya di kelompok belakangan ia terpapar pemikiran tentang khilafah atau negara Islam untuk Indonesia. Pemerintah dan polisi dikatakan sebagai thogut, golongan yang patut diperangi.“Teman saya mendoktrin itu di kampus, kamar, bahkan dapur,” suatu hari, ia mengikuti dialog lintas agama yang digelar Fahmina. “Saya ketemu langsung dengan tokoh agama, seperti Pastur, Romo, dan lainnya. Saya lihat mereka damai banget, adem. Islam harusnya seperti ini,” pun rajin hadir di acara Fahmina, terlebih soal perempuan dan kesehatan reproduksi. Dewi menyukai kedua isu itu karena sangat jarang dibahas selama di pesantren dulu. Akan tetapi, lembaga dakwah tempatnya bernaung melarangnya. Kesehariannya pun terpantau oleh teman organisasinya.“Puncaknya, kosan saya diketok kayak peristiwa penculikan G 30 S Gerakan 30 September. Saya lalu diajak tempat sepi dan didoktrin, jangan sampai ikut Fahmina lagi,” ujarnya. Namun, hatinya menolak. Dewi tak menemukan berbagai stigma buruk tersebut di FIKRI ASHRI Celengan buatan warga dijemur di Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021. Jamblang merupakan salah satu daerah yang pernah menjadi tempat penangkapan pelaku teroris. Padahal, kerukunan antarumat beragama di Jamblang selalu terjaga.“Yang saya dapatkan di sana toleransi, cinta kasih sesama. Buat mereka, kafir itu yang berbeda dari mereka. Sedangkan Fahmina mengartikan kafir orang yang tidak menerima keadilan,” melalui komunitas Bayt al-Hikmah, ia giat mengampanyekan kesehatan reproduksi, hak perempuan, hingga keragaman gender. Dewi juga menjadi salah satu fasilitator dalam Program Moderasi Fahmina Institute Rosidin membenarkan, Rudi dan Dewi sempat diselimuti keraguan saat bergabung di Fahmina. Sama dengan sejumlah anggota lainnya yang umumnya berasal dari pesantren, mereka takut keyakinannya berganti. Ternyata, kekhawatiran itu tak terwujud.“Cara mengubah ketakutan itu ya mereka mendengarkan, memahami, dan menghargai perbedaan. Intinya, mereka juga tidak setuju menggunakan kekerasan untuk memaksakan pandangan ke orang lain,” dan Rudi menjadi contoh jalan toleransi. Bahkan, keduanya kini mencetak kader toleran. Salah satunya, Vrisca Cornelia 18, peserta Program Moderasi Beragama di Jamblang selama tiga bulan. Menjalani pendidikan dasar hingga menengah di sekolah Kristen, untuk pertama kalinya ia bertukar pikiran dengan pemuda ia melihat Islam itu radikal. Ia juga iri dengan mudahnya orang membangun masjid dibandingkan gereja. Sebagai Kristen, ia sempat merasa minoritas sedangkan Islam mayoritas sehingga masalah umat Islam bukan urusan agamanya.“Ternyata, Islam dan Kristen itu sama-sama mengajarkan untuk mengasihi sesama. Saya mau cerita ke teman-teman gereja soal ini. Ayolah, kita harus bersuara tentang toleransi. Kita tidak bisa berjuang sendiri,” juga Toleransi Tetap Bersemi Meski Pandemi Mendera Kota Wali EditorCornelius Helmy Herlambang
Karena Banten dahulunya bagian dari Jawa Barat , bahasa yang digunakan orang Banten dahulu adalah Bahasa sunda,Namun mengalami pemekaran dari Jawa Barat pada tanggal pada tanggal 17 Oktober 2000. sekarang orang Banten mengalami beberapa jenis bahasa sunda yang dipecah , yaity sunda kasar dan sunda halusjadi oleh karena itu orang Banten bisa bahasa Cirebon dan Jawa Barat
Keadaan Banten setelah Mangkubumi Arya Ranamanggala Setelah meninggalnya Mangkubumi Arya Ranamanggala, kesultanan Banten sepenuhnya di tangan Sultan Abdul Kadir. Pada masa itu hubungan Banten dengan Batavia sedang memburuk. Banyak perampokan dan pengrusakan yang dilakukan orang Banten terhadap milik kompeni. Karena gangguan-gangguan ini, kompeni mengadakan ekspedisi pembersihan ke daerah-daerah kuasa Banten. Daerah yang menjadi sasaran ekspedisi antara lain Tanahara, Anyer dan beberapa daerah di Lampung. Maka terjadilah pertempuran-pertempuran sengit di daerah tersebut pada sekitar bulan Nopember 1633. Pertempuran-pertempuran tersebut lebih banyak dimenangkan pasukan Banten, karena kekuatan kompeni sedang melemah akibat serbuan Mataram yang memakan waktu sangat lama. Pada tanggal 5 Januari 1634 dikirimnya lagi pasukan laut kompeni yang lebih kuat untuk mengepung kota Banten, maka diadakanlah blokade menyeluruh atas daerah Teluk Banten. Pengepungan Belanda di perairan Tanahara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin Tubagus Singaraja, kuasa Banten di sana. Sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan Banten, baru dapat digagalkan setelah digunakan taktik baru. Atas usul Wangsadipa, prajurit-prajurit Banten memuat sampah dan rumput-rumput kering di atas beratus-ratus perahu kecil yang kemudian dibasahi dengan minyak bakar. Pada malam hari perahu-perahu tadi diluncurkan dekat dengan kapal-kapal kompeni. Dalam jarak yang sudah dekat, barulah rumput kering tersebut dibakar. Dengan cara ini banyak kapal kompeni yang ikut juga terbakar, dan akhirnya pengepungan Belanda dapat juga digagalkan. Peristiwa pembakaran kapal-kapal kompeni itu disebut dalam sejarah Banten dengan istilah Pabaranang. Pertempuran-pertempuran kecil maupun besar antara Batavia dan Banten terus berlangsung. Semuanya ini lebih banyak merugikan kompeni, padahal kompeni sedang sibuk menghadapi perang dengan Mataram dan Makasar. Oleh karenanya diadakanlah genjatan senjata dengan Banten pada bulan Juli 1636; tapi dalam prakteknya baru bisa dilaksanakan pada bulan Maret 1639. Sultan Abdul Kadir, dari permaisurinya putri Pangeran Rangga Singasari mempunyai 5 orang anak Pangeran Pekik, Ratu Dewi, Ratu Mirah, Ratu Ayu dan Pangeran Banten. Sedangkan dari istri yang lain, Sultan mempunyai lebih dari 30 anak. Pangeran Pekik atau Pangeran Kilen diasuh oleh paman tuanya yaitu Mangkubumi Arya Ranamanggala. Dialah yang kemudian diangkat menjadi Putra Mahkota. Islam mengajarkan supaya ummatnya bersatu baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Mereka diwajibkan menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dalam kesempatan haji itulah mereka berkumpul saling memberikan informasi tentang keadaan negaranya dan menentukan apa yang harus dikerjakannya untuk kebesaran Islam di negaranya masing-masing. Mereka secara tidak tertulis mengadakan koordinasi di antara negara-negara Islam. Terbentuklah satu kekhalifahan Islam yang luas, yang dipimpin oleh khalifah yang mengurusi/menguasai kota suci Mekkah. Semangat Pan Islamisme dari ummat Islam — yang merasa kedaulatannya terusik oleh kolonialis — sedang tumbuh dengan suburnya. Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadir, antara tahun 1633 atau 1634, diutuslah beberapa pembesar istana ke Mekkah. Utusan ini dipimpin oleh Labe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran Pekik, sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji. Sekitar tanggal 21 April dan 4 Desember 1638, rombongan yang diutus ke Mekkah sampai kembali di Banten. Mereka disambut dengan upacara kebesaran kenegaraan. Diceritakan upacara penyambutan ini dalam Sajarah Banten sebagai berikut “Di Banten, Sultan memerintahkan kepada Tumenggung Wira Utama untuk membuat persiapan secukupnya bagi keperluan penyambutan itu. Pada hari yang ditentukan, semua persiapan telah sempurna. Setiap orang telah siap di tempatnya masing-masing. Sultan duduk bersama pengiringnya di srimanganti. Yang menerima surat dari khalifah Mekkah adalah Ki Pekih, di atas kapal. Ketika kapal akan merapat, dari atas kapal ditembakkan meriam sebelas kali, yang kemudian dibalas dengan jumlah yang sama dari perbentengan. Gemelan ditabuh dan sekali lagi meriam ditembakkan sebagai penghormatan. Bendera dari Mekkah dibawa oleh Kiyai Rangga Paman, sedangkan hadiah-hadiah lainnya dibawa oleh Tumenggung Indrasupati”. Dari Mekkah Sultan mendapat gelar kebesaran Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdul Kadir sedangkan Pangeran Pekik mendapat gelar Sultan Ma’ali Akhmad. Untuk utusan yang baru datang dari Mekkah itu, Sultan memberi hadiah dan gelar kebangsawanan. Demang Tisnajaya mendapat gelar Haji Wangsaraja. Labe Panji, kepala rombongan yang pertama meninggal dunia dalam perjalanan ke Mekkah. Tidak lama setelah kedatangan rombongan dari Mekkah itu, ibunda Sultan yakni Nyai Gede Wanagiri meninggal dunia. Dan atas perintah Sultan, ibundanya dikuburkan di Desa Kenari, karena di tempat itulah Nyai Gede Wanagiri senang beristirahat menenangkan hati. Di Desa Kenari ini, Sultan memerintahkan untuk dibuatkan taman yang indah dengan rusa-rusa dan binatang peliharaan lainnya, dan Sultan sering beristirahat di taman ini setelah berziarah ke makam ibundanya. Apabila Sultan sedang berada di istana setelah selesai penghadapan para ponggawa, baginda duduk dengan muka menghadap ke selatan dengan sebuah kitab di sampingnya. Sultan mengajarkan ilmu agama kepada para istrinya, pedekan tundan, pedekan jawi, para nyai dan istri-istri para ponggawa dan para istri mentri. Sedangkan di ruang lain berkumpul pula para nyai sambil mengajar mengaji al-Qur’an kepada para pangeran kecil dan putri-putri istana. Nyai-nyai ini dipimpin oleh Nyai Mas Eyang. Memang dalam Sejarah Banten, Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai seorang ulama yang saleh. Sultan mengarang beberapa kitab ilmu agama yang kemudian disebarkan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Salah satu kitab karangannya “Insan Kamil” yang kemudian diambil Dr. Snuock Hurgronje, pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sultan sering memeriksa kompleks istana dan keadaan rakyatnya pada malam hari dengan ditemani oleh Ki Cili Duhung. Apabila ditemukan rakyat yang sakit atau penderitaan lainnya, maka keesokan harinya Sultan memerintahkan Ki Gula Geseng dan Ki Gula Ngemu nama orang untuk memberikan bantuan. Sultan pun sering seserangan yaitu mengontrol sawah-sawah kerajaan yang terletak di daerah Serang sekarang. Hasil sawah ini di samping untuk memenuhi kebutuhan istana juga sewaktu-waktu dijual untuk pengontrol harga beras di pasaran. Dengan demikian kebutuhan rakyat akan beras dapat dipenuhi. Sultan Abulma’ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma Putri Pangeran Jayakarta, dikaruniai 5 orang anak Ratu Kulon Ratu Pembayun, Pangeran Surya, Pangeran Arya Kulon, Pangeran Lor, dan Pangeran Raja. Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah Ratu Wetan, mempunyai anak Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten dan Ratu Tinumpuk. Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra Ratu Petenggak, Ratu Tengah, Ratu Wijil, Ratu Pusmita, Pangeran Arya Dipanegara atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara, Pangeran Aryadikusuma atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru. Dalam pada itu, Cirebon biar pun tidak pernah diserang Mataram, tapi pada tahun 1619 keadaannya sudah seperti jajahan Mataram saja. Sehingga atas desakan Mataram, Sultan Cirebon mengancam Banten agar supaya mengakui kuasa Mataram; dan apabila tidak maka Banten akan diperanginya. Peringatan seperti ini ditegaskan lagi pada tahun 1637. Karena desakan dan ancaman dari Mataram pula, maka pada tahun 1650 yakni setelah Pangeran Girilaya menjadi Sultan Cirebon menggantikan ayahnya, Penembahan Ratu, karena Banten tidak mau tunduk pada ancaman Cirebon, Sultan merencanakan penyerbuan ke Banten. Dengan menggunakan 60 buah kapal, berangkatlah pasukan Cirebon ke Banten dipimpin oleh Senopati Ngabehi Panjangjiwa. Setelah sampai diperairan Sumur Angsana, mereka memutuskan berlayar ke hulu sungai untuk membakar Tanahara. Rencana penyerangan pasukan ini sudah didengar Sultan Abdul Kadir. Maka dikirimnya satu pasukan yang dipimpin oleh Lurah Astrasusila, Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa. Mereka berangkat dengan menggunakan 50 buah kapal perang. Sultan menjanjikan hadiah sebanyak 2000 real dan baju kebesaran kepada siapa saja yang sangat berjasa dalam peperangan itu. Sesampainya di Tanahara, pasukan dibagi tiga bagian. Pasukan pertama dipimpin oleh Lurah Astrasusila, bersembunyi di Tanjung Gede. Sedangkan pasukan kedua dan ketiga masing-masing dipimpin oleh Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa, menanti di Muara Pasilian. Pagi-pagi sekali pasukan Cirebon sudah mendarat di Pelabuhan Tanahara. Senopati Panjangjiwa bersama sebagian kecil pasukannya berlayar masuk ke hulu sungai untuk menyelidiki keadaan. Tapi karena sebab yang belum jelas, Senopati Panjangjiwa meletakkan senjatanya dan menyerahkan diri kepada Demang Wirapaksa, diikuti oleh pasukannya. Selanjutnya, Senopati Panjangjiwa dibawa menghadap Sultan di Surosowan; karena tindakannya itu Sultan memberi ampun dan hadiah-hadiah kepada mereka semua. Sedangkan pasukan Cirebon yang lain — yang sedang menunggu kabar dari Senopati Panjangjiwa di hilir — melihat banyak senjata yang hanyut di sungai. Mereka menyangka di hulu sungai sedang terjadi pertempuran hebat antara pasukan Panjangjiwa dengan pasukan Banten. Dengan segera mereka berlayar ke hulu untuk membantu temannya. Secara tiba-tiba Lurah Astrasusila dan pasukannya menyergap pasukan Cirebon itu. Serangan mendadak ini tidaklah mereka duga sama sekali. Pertempuran ini berlangsung dengan hebat. Tapi akhirnya dari 60 buah kapal tinggal satu kapal yang dapat melarikan diri dan kembali ke Cirebon, sedangkan yang lainnya dapat ditawan atau gugur. Tentara Cirebon yang menyerah dan ditawan semuanya dibunuh tanpa terkecuali. Kejadian ini diberitakan kepada Sultan yang baru selesai khutbah hari raya di Banten. Betapa marahnya Sultan mendengar berita pembantaian tersebut. Sultan menginginkan semua yang sudah menyerah tidak boleh dibunuh. Karena kejadian itu, hadiah yang sudah dijanjikan ditarik kembali dan Lurah Astrasusila diusir dari istana. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Pagarage atau Pacerebonan, yang terjadi pada tahun 1650. Untuk memperingati kemenangan pasukan Banten dalam peristiwa Pagarage tersebut, diadakan upacara sasapton. Jalannya pesta kemenangan ini diceritakan sebagai berikut Sepanjang tepi sungai rakyat dan ponggawa ditempatkan dalam kemah-kemah yang berjajar rapi. Sebagai tanda pengenal, mereka menggunakan bendera-bendera yang berbeda yang berwarna-warni. Para ponggawa duduk di bawah pohon beringin dekat srimanganti, menghadap candi rasmi menantikan sultan keluar dari istana. Sepanjang jalan yang akan dilalui sultan, berjejer menyambut para priyayi di mande mundu ditempatkan priyayi medang sebanyak dua puluh orang, di made gayam ditempatkan priyayi parasara empat puluh orang dan panyendekan ada priyayi kalamisani dengan kereta-keretanya. Sebagai kepala penjaga ialah Ki Suraita. Sedangkan sitinggil diurus oleh Ki Naraita yang juga menjadi kepala penyimpanan senjata dan kuda. Empat ekor kuda telah disiapkan namanya Sekardiyu, Kalisahak, Sumayuda, dan Layarwaring. Pembawa tanda kebesaran istana berjalan di muka, barulah sultan keluar dengan diiringi tabuhan gemelan sekati. Sultan duduk di lampit yang digelar di tanah dikelilingi para mentri. Gamelan mesa patra ditabuh dan menperdengarkan lagu-lagunya. Para ponggawa telah siap di tempatnya masing-masing dan bersamaan dengan itu terdengar pula gamelan dari kemah-kemah. Pangeran Adipati Anom mengendarai kuda diiringi oleh para ponggawa dengan kudanya pula. Dan sasapton pun dimulai. Yang menjadi bintang pada sasapton itu ialah Ratu Bagus Komala yang menunggang kuda Sekar Tinggal, demikian juga saudaranya Ratu Bagus Kencana; keduanya anak Pangeran Upapati. Mereka itu lawan Pangeran Adipati Anom yang menunggang kuda Layarwaring, kuda dari Bali. Menjelang malam hari, sasapton itu berhenti dan sultan pun kembali ke keraton dengan diiringi lagu gemelan sekati. Ratu Bagus Kencana kemudian mendapat gelar Tubagus Singawangi dan Ratu Bagus Komala bergelar Tubagus Ewaraja. Tidak lama setelah Peristiwa Pagarage ini, Putra Mahkota Pangeran Pekik atau Sultan Abulma’ali Ahmad meninggal dunia, setelah ia menderita sakit yang cukup lama 1650. Putra Mahkota dimakamkan di pekuburan Kenari. Sebagai penggantinya, jabatan Putra Mahkota diserahkan kepada anaknya Sultan Abulma’ali Ahmad, yakni Pangeran Surya, dengan gelar Pangeran Adipati Anom. Tidak lama setelah itu yakni pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abumafakhir Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia. Jenazahnya dikuburkan di Kenari, berdekatan dengan makam ibundanya dan putra kesayangannya, Sultan Abulma’ali Akhmad. Sebagai penggantinya diangkatlah Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya menjadi Sultan Banten ke-5. —————— kembali kehalaman pertama ——————
Ilustrasi perang di laut. Banten dan Mataram, sama-sama kerajaan Islam, namun bermusuhan. Banten menolak tunduk kepada Mataram. Untuk mendesak Banten, Mataram menggunakan kaki tangannya Cirebon. Cirebon pun sampai berperang dengan Banten. Dua utusan dari Cirebon, Jiwasraya dan Nalawangsa, datang ke Banten. Mereka gagal membujuk Sultan Banten untuk mengakui kekuasaan Mataram. Utusan berikutnya adalah seorang sentana keluarga raja, yaitu Pangeran Martasari, dan putranya, berserta Tumenggung Wiratantaha. Martasari dijamu dengan meriah oleh Pangeran Adipati, putra Sultan Abulmaali. Namun, dia gagal membujuk Sultan Banten, Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir 1596-1651, untuk pergi bersamanya menghadap Sultan Mataram. “Sultan Banten tidak mau mengakui raja mana di atasnya selain Sultan Mekah, yang sering mengirimkan surat kepadanya berisi pelajaran-pelajaran yang berhikmah,” tulis de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Kegagalan Martasari membuat marah Patih Mataram, Tumenggung Singaranu. “Singaranu marah dan menuntut bukti kesetiaan Martasari kepada Cirebon. Dia diperintahkan untuk menyerang Banten,” tulis Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan Surat-Surat Sultan Banten. Martasari didampingi Ngabei Panjangjiwa memimpin armada berkekuatan 60 kapal berlayar menuju Banten. Untuk meladeni pasukan Cirebon, Banten menyiapkan 50 kapal di bawah pimpinan Lurah Astrasusila, Demang Narapaksa, dan Demang Wirapaksa. Sultan Banten menjanjikan hadiah dua ribu rial dan sehelai kampuh kain kebesaran apabila memenangkan peperangan. Baca juga Pemberontakan untuk Memulihkan Kesultanan Banten Setiba di pelabuhan Tanara, Astrasusila menunggu sambil bersembunyi di Tanjung Gede. Narapaksa dan Wirapaksa bersembunyi di Muara Pasiliyan. Pada pagi hari, sebagian pasukan Cirebon di bawah Panjangjiwa memasuki pelabuhan Tanara. Mereka disergap dan Panjangjiwa menyerah kepada Wirapaksa. Dia dikirim kepada Sultan Banten yang mengampuninya. Ketika orang Cirebon lainnya tiba, mereka melihat senjata terapung. Mereka tak tahu kalau Panjangjiwa tanpa perlawanan sedikit pun telah menyerah. Mereka diserang tiba-tiba oleh Astrasusila dan dua orang demang. Hanya satu kapal yang selamat di bawah Martasari. Lima puluh kapal dirampas. Para awak kapal tidak melawan, dibelenggu, dan diturunkan di padang Sumur Angsana. “Di sana mereka dibunuh, sekalipun mereka minta ampun. Kepala mereka dikirim ke Surosowan,” tulis De Graaf. Keraton Surosowan merupakan tempat tinggal Sultan Banten yang dibangun antara tahun 1552 sampai 1570. Menurut Titik, Sultan Banten marah karena kelakuan prajuritnya yang kejam pada prajurit Cirebon. “Peristiwa penyerbuan Cirebon ke Banten ini disebut Pacirebon Pacaebonan atau Pagarage,” tulis Titik. Perang Banten-Cirebon itu terjadi pada hari ke-30 bulan Ramadan. Pada hari Lebaran para prajurit kembali ke Banten. “Bulan Ramadan tanggal 30 itu jatuh pada tanggal 22 Desember 1650. Hari Lebaran jatuh pada hari berikutnya,” tulis De Graaf.
Editor Sahroni Sabtu 07-05-2022,0004 WIB Suasana di Astana Gunung Jati. Foto Dok CIREBON, - Hubungan Banten dan Cirebon terjalin erat berkat Sunan Gunung Jati. Kedatangan Syekh Syarief Hidayatullah juga disebut-sebut menjadi awal nama daerah tersebut. Ketiban inten Kejatuhan Intan diyakini menjadi asal muasal nama Banten, karena masyarakatnya merasa bersyukur ada Sunan Gunung Jati. Sejak itulah hubungan dengan Cirebon pun dimulai. Meski demikian, hubungan Banten dan Cirebon tidak selamanya berjalan baik. Sejarah meriwayatkan perang saudara yang terjadi antara kedua kesultanan, karena ambisi Mataram. Namun, sebelum itu terjadi, hubungan Banten dan Cirebon adalah sebuah koalisi besar yang berhasil menaklukan Pakuan Pajajaran. Ketika itu, Kesultanan Banten yang sebagian wilayahnya dikuasai Pajajaran berhasil memperluas wilayah. Bahkan melakukan penyerbuan ke Pakuan Pajajaran dan menyebabkan keruntuhan kerajaan tersebut pada 8, Mei 1579. Hubungan Banten dan Cirebon sebenarnya bermula di Abad ke-15, ketika Kesultanan Demak sedang mengusung misi memperluas pengaruh di wilayah pesisir Pulau Jawa bagian barat. Diawali penyebaran Islam oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1522. Beliau, tidak datang sendirian. Waktu itu, Syekh Syarif Hidayatullah membawa serta putranya yakni, Maulana Hasanuddin. Kedatangan Sunan Gunung Jati di wilayah Banten berselang satu tahun setelah Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja wafat pada 41, Desember 1521. Syiar yang dilakukan Sunan Gunung Jati perlahan tapi pasti akhirnya dapat diterima oleh masyarakat dan pengaruhnya pun kian menguat di pengujung Abad 15. Sunan Gunung Jati yang ketika itu adalah pemimpin Kesultanan Cirebon, juga menguasai sebagian wilayah di Banten. Kemudian, Syekh Syarif Hidayatullah menunjuk putranya yang melaksanakan syiar yakni Maulana Hasanuddin untuk meneruskannya dengan mendirikan Kesultanan Banten. Kemunculan Kesultanan Banten dan pengaruh yang terus menguat juga turut andil dalam runtuhnya Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran atau sekarang di wilayah Bogor. Keruntuhan kerajaan terjadi di era Prabu Surya Kencana yang berkuasa antara tahun 1567 sampai dengan 1579. DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Sumber
kenapa orang banten takut sama orang cirebon